Kumpulan Cerita Waktu Masih Sekolah

Senin, 31 Agustus 2015

Pemberantasan Sarang Kutu

01.04 Posted by Pernah Sekolah No comments
Jam baru aja nyentuh angka 12 di siang bolong saat pasien terakhir gue berjalan keluar pintu poli umum Puskesmas. Gue menghela napas dalam-dalam dan ngelus dada. Pasien ini anak pondok, sama kaya gue dulu. Penyakit terakhir yang gue obatin ini nama kerennya adalah Tinea Capitis. Dan gue juga menemukan penampakan hidup yang bernama keren Pediculus Humanus Capitis.
Silahkan googling ya...
Tapi gue akan menghemat waktu dan kuota internet kalian. Yang gue omongin di atas adalah borokan di kepala sama kutu rambut.
Yep.
KUTU. RAMBUT.
Kalo liat pasiennya, cewe, cantik, rapi, bersih, pake jilbab...orang pasti kaget kalo tau diagnosa yang gue bikin baru aja. Tapi entah kenapa kalo gue sebut riwayatnya si pasien adalah santri sebuah pondok, orang akan dengan kompak nyebut : “Ooooh...pantesaaaan...”
Why????
Kenapaaaaa????
Kok kayaknya itu penyakit wajib yak buat santri pondok. Utamanya yang masih bejibun tidur berjamaah di kamar, bukan yang kamarnya ‘eksklusif’ bertiga atau berempat hahaha...
Jadi inget kejadian jaman masih awal-awal nyantri di ma’had Assalaam.
Waktu kelas 1 MTs, kamar gue adalah kamar di rayon 1, lebih tepatnya KPI 2. Sekamar kalo ga salah isinya 20 orang. Dan jaman itu semua tidur bareng-bareng beralaskan kasur di lantai. Ga ada cerita kita punya dipan kaya santri-santri yang baru masuk sekarang. Jadi bisa dibayangkan saat jam tidur, situasi di dalam kamar sudah sangat mirip dengan lokasi penjemuran ikan asin: rapat, padat, telentang gak beraturan. Dan karena tidak ada komando khusus dari kakak pembimbing tentang aturan posisi tidur, kamipun menata kasur, bantal, dan guling sesuka hati kami. Jadi pemandangan kaki di kepala dan kepala di kaki itu sudah merupakan hal yang biasa.
Kisah berawal pada saat pendidikan kami sudah berjalan sekitar 3 atau 4 bulan. Saat itu, setiap hari Jum’at pada saat orang tua atau wali santri bisa berkunjung, dan kami menerima tamu di taman-taman sekitar kopel. Pemandangan yang sering ditemukan pada santri-santri (utamanya santriwati kali yak...) kelas 1, percaya atau tidak, adalah banyaknya orang tua yang memberi bekal sebuah sisir unik ala Tionghoa dengan gerigi sisir kecil nan rapat. Sisir tersebut lebih terkenal dengan nama serit atau surit atau apalah...macem2 sebutannya. Apapun namanya, fungsi sisir tersebut di seluruh dunia gue rasa sama: PANEN KUTU RAMBUT!
Awalnya gue merasa ga mungkin lah ya rambut sampe kutuan. Kan sering keramas, jilbab rajin dicuci, walopun pasti ga sempet krimbat. Disaat kamar-kamar lain mulai ditemukan kasus penampakan kutu, so far...kamar gue adem ayem aja. Tapi ada isu ga enak yang berhembus, kalo salah satu anak di kamar gue dicurigai kutuan rambutnya. Alesannya sih simpel. Disaat didalam kamar kalo habis pada mandi atau pas tidur kan rata-rata pada lepas jilbab ya. Nah si doi ini ga pernah gue liat lepas jilbab kecuali pas lagi butuh nyisir rambut ajah dan jilbab juga jarang ganti. Kebetulan rambut doi agak ikal gitu, jadi mungkin itu salah satu sebab munculnya hipotesa alias isu tersebut. Tapi namanya juga isu. Sebelum ada pembuktian tetaplah isu. Jadilah gue cuek bebek dan ga mau ngebahas lebih lanjut.
Nah...kegalauan bermula pada saat malam hari tiba...
Saat itu kebetulan sebagian besar anak di kamar gue udah pada tidur, termasuk si doi. Hanya gue dan 1-2 orang yang masih bangun. Karena takut kena semprot ustadzah, kami bergegas menuju singgasana masing-masing, dan kebetulan malam itu singgasana gue tepat di sebelah singgasana doi yang hanya terpisah oleh lantai keramik sepanjang 20cm. Gue udah siap-siap mau naroh kepala ke atas bantal saat tiba-tiba, entah kenapa, tak dinyana, tak sengaja, ada suatu pergerakan di seberang yang masuk ke lapang pandang mata gue. Karena gue penasaran, pandangan gue alihkan ke sumber gerakan, which was...kepala si doi yang tertutup jilbab.
And there...I saw it...
Hewan kecil nan mengerikan, berjalan-jalan santai keluar dari sela-sela jilbab doi, mengeksplorasi kepala si doi dengan bebas. Dan hey! Dia ga sendirian loh! Ada teman-temannya jugaaaaakk... Oh meeeennn... Sekitar 3 atau 4 KUTU RAMBUT gue liat jalan-jalan di kepala doi.



Spontan yang gue kasih tau pertama adalah teman-teman yang saat itu belum tidur. Kami galau, bingung, gundah gulana, karena tau bahwa kami berkewajiban untuk mencegah penyebaran koloni tersebut supaya tidak membuat sarang di tempat lain. Tapi...bingung bro... Kalo ngomong ke anaknya sendiri jelas ga enak. Kalo dibiarin, ga sampe hati. Akhirnya kami sepakat untuk melempar bola panas ini ke kakak pembimbing kamar besok pagi. Dan untuk perlindungan sementara, posisi tidur gue ubah. Gue rela nyium bau kaki temen gue daripada si kutu maen percobaan loncat jauh ke kepala gue.
Keesokan paginya, kami, para saksi, mengadakan semacam ‘rapat darurat’ dengan kakak pembimbing perihal kasus temuan semalam. Ada beberapa kesepakatan krusial yang diambil. Yang pertama, si kakak bersedia dengan lapang dada menegur doi supaya dia mau lebih rajin membersihkan rambut. Dan yang kedua, dan ini yang paling penting, karena kami ga tau siapa aja yang udah ditemplokin koloni makhluk kecil tersebut, maka kami sepakat untuk mengadakan PSK! Pemberantasan Sarang Kutu! Dimana agendanya adalah membunuh kutu-kutu di kepala, baik yang sudah dewasa, maupun yang masih berwujud telur. Dan senjata yang kami butuhkan adalah: The infamous PEDITOX, dan serit!
Dan tak perlu menunggu terlalu lama, akhirnya hari PSK itupun tiba, lebih tepatnya di hari Kamis minggu berikutnya. Seluruh penghuni kamar telah diinfokan tentang kegiatan berjamaah tersebut dan semua sudah menyiapkan peralatan perang yang dibutuhkan.
Rencana dieksekusi setelah sholat Isya’ berjamaah, lebih tepatnya satu jam sebelum jam tidur. Kami bersama-sama menuju reservoir dengan amunisi lengkap. Disana kami saling membantu memakaikan obat ajaib PEDITOX tersebut, yang isinya semacam pembasmi hama khusus kutu rambut. Obat tersebut dioleskan merata ke seluruh kepala penghuni KPI 2 tanpa terkecuali. Tidak lupa serit dipakai untuk merontokkan kutu dewasa yang kebetulan sedang nangkring di rambut. Banyak banget lah kita panen. Mungkin jika ditampung, bisa dibuat semacam rempeyek.
Nah cara pakainya si PEDITOX ini, kita ga boleh langsung keramas. Harus didiamkan dulu minimal 3-4 jam. Jadi sekalian aja kami bawa tidur supaya lebih efektif. Dan tak lupa, saat tidur kepala kami dibalut handuk atau shower cap bagi yang punya. Hal ini untuk mencegah para kutu untuk kabur dari sarangnya. Jadilah malam itu kami tidur dengan menahan rasa bagai digigitin semut di bagian kepala.
Keesokan harinya, kamipun bangun jam 3 pagi! Hal yang, jujur saja, jarang kami lakukan (kecuali 1 orang yang namanya tak perlu saya sebut di sini =) haha...). Kami kembali berkumpul di reservoir dan bersama-sama membuka rambut yang telah semalaman terbungkus. Dan hasilnya? You won’t even believe it! Nyaris ga ada yang ga kutuan! Asli!
Di handuk kepala, banyak banget korban tewas di pihak kutu. Ada yang masih bisa dihitung dengan jari sebelah tangan, ada yang saking banyaknya sampe males ngitung. Bener-bener nih kutu gerilyanya sukses banget. Kamipun keramas bareng-bareng, ada yang diulang sampe 2-3 kali keramasnya karena takut masih ada yang nyisa di kepala. Alhamdulillah, dengan kerja sama semua pihak, akhirnya kasus kutu untuk sementara bisa diselesaikan. Kamar-kamar lainpun akhirnya juga menyusul jejak kami, dengan melakukan PSK mandiri berjamaah. Seneng juga bisa membawa manfaat buat orang lain.
Tapi...apakah koloni kutu tinggal diam???
Tidak!!!
Karena seiring dengan berjalannya waktu, kami masih sering iseng nyisirin rambut pake serit, dan tak jarang masih nemu telur si kutu, walopun hampir ga pernah lagi nemu kutu dewasanya. Biasanya telur-telur ini di ‘pithes’, dihancurin pake kuku jari tangan, dengan beralaskan kertas. Jadi mungkin teman-teman mau nengok buku-buku jaman MTs dulu mungkin bisa dibuka-buka, kali aja masih ada fosil kutu dewasa atau telur kutu yang masih tertinggal di sana.
Kami menyikapi hal perkutuan ini dengan sewajarnya, dan kami rasa tindakan yang diambil memang sudah sepantasnya. Tapi beberapa waktu yang lalu pada saat ngobrol di grup alumni, ada teman yang cerita kalo sempet pas jadi pembimbing, ada anak-anak suatu kamar yang, gara-gara kutu rambut, ‘disekap’ oleh salah satu orang tua santri dan satu persatu kepalanya disemprot pake Baygon! Geloooooo...
Buat yang satu ini jujur sih gue ga setuju. Ekstrim bo...
First and foremost, Baygon itu ga didesain buat bunuh kutu rambut! Apalagi telur kutu rambut! Dia golongan organofosfat, racun serangga, yang bisa mengiritasi kulit. Kalo buat bunuh kutu rambut itu pake golongan klorin. Itu sih yang gue inget dari kuliah Parasitologi gue dulu. Mungkin aja sih kutu dewasa mati karena keracunan, wong manusia dewasa aja bisa mati kalo kebanyakan menghirup Baygon. Tapi dia ga bunuh telur-telur si kutu, yang hampir pasti lebih banyak dari jumlah kutu dewasa. Bukannya bikin sembuh, malah bikin kepala melepuh hehehe... Awas yak, jangan ditiru!
Ah...sekian lah tulisan gue ini. Udah waktunya balik absen jari. Abdi negara mohon pamit dulu. Kiranya ada salah kata, mohon dimaafkan. Bagi yang merasa tersinggung, dimaapin ya...plis... =)
Jangan lupa keramas yang rajin yak!!!
Assalaamu’alaikum.........
Dadaaaaah......



Ditulis oleh: Zukhrufa Delima Majid

Minggu, 30 Agustus 2015

Nasib Santri Perantauan

23.20 Posted by Pernah Sekolah No comments


Kejadian ini sekitar tahun 1999. Waktu itu, aku masih kelas satu Madrasah Tsanawiyah di Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam, Solo, Jawa Tengah. Tanggal persisnya aku lupa, yang jelas itu liburan caturwulan tiga kenaikan kelas. Ketika libur kenaikan kelas, kasur dan barang-barang santri harus dititipkan di satu tempat (biasanya menggunakan ruang kelas sebagai tempat penitipan) karena pada tahun ajaran berikutnya para santri akan menempati kamar yang berbeda dan rayon-rayon (semacam barak, terdiri dari banyak kamar yang satu kamar ditempati puluhan santri untuk tidur) akan dibersihkan selama liburan.

Aku termasuk santri yang setia pulang ke rumah bersama konsulat (konsulat merupakan kumpulan santri yang berasal dari satu daerah), pulang rame-rame dan tidak ngerepotin orang tua untuk menjemput. Aku sendiri termasuk di konsulat Kumparan Persada sub Antasari. Kumparan Persada sendiri adalah kumpulan santri dari daerah di luar Pulau Jawa, sedangkan Antasari adalah kumpulan santri dari daerah Kalimantan Selatan.

Nah, kebetulan, konsulatku selalu menggunakan angkutan laut alias kapal (moda yang paling terjangkau pada zaman itu) untuk pulang ke rumah. Waktu itu, kami baru bisa pulang lebih lama satu hari dibanding santi yang lain. Ketika santri lain sudah pulang pulang hari Jumat, kami baru bisa pada hari Sabtu karena kapal laut yang membawa kami ke Banjarmasin baru ada di hari Minggu pagi. Kami naik kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Di Tanjung Emas, kapal tujuan Banjarmasin hanya tersedia dua kali dalam seminggu, berbeda dengan Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya yang menyediakan kapal tujuan Banjarmasin dua hari sekali. Kami memilih naik kapal dari Semarang karena waktu tempuh dari pondok kami ke Semarang lebih dekat daripada ke Surabaya.




Sedih melihat teman-teman lain sudah pulang, pondok sudah mulai sepi, tertinggal sebagian anak-anak Kumparan Persada dari Sumatera, Kalimantan dan Papua. Malam pertama masih ramai dan masih di kamar masing-masing menggunakan kasur, pagi harinya kami beres-beres, semua barang termasuk bantal dan kasur dititipkan. Rencananya sore itu kami berangkat, pondok sudah sepo, ternyata kami mendapat kabar kalau kapal kami tidak bisa bersandar sehingga kapal dibatalkan berangkat pada Hari Minggu dan kami baru bisa berangkat menggunakan kapal Hari rabu. Mendengar kabar itu, aku langsung menangis sejadi-jadinya, sudah kangen banget sama rumah, kebetulan yang kelas satu hanya aku dan Mulki yang ikut pulang bersama konsulat.

Akhirnya kakak-kakak pengurus konsulat memutuskan tidak jadi berangkat ke Semarang hari itu karena tidak ada biaya untuk menginap di Semarang selama tiga malam. Malam itu, kami tidur beralaskan tikar seadanya dan berbantalkan tas, bisa teman-teman bayangkan sedihnya. Waktu itu selain aku dan Mulki, juga ada Aqidah dari Papua yang belum pulang, walhasil kami Cuma bertiga di Rayon 1, dingin dan nyamuk yang bikin mental down, sedih, Cuma bisa nangis. Masih kelas satu, masih polos, tidak kepikiran untuk jalan-jalan keluar komplek pondok apalagi kepikiran untuk nomat... hehehe...

Selama dua malam kami tidur di tikar, bahkan malam ketiga hanya aku dan Mulki yang tersisa, Aqidah sudah berangkat dengan rombongan konsulatnya. Bisa kalian bayangkan tidur di rayon yang kosong, takut sih sudah kebal, tapi rasa kesepian dan sedihnya itu luar biasa. Tidak ada kerjaan, nyuci baju saja tidak bisa karena embernya juga sudah masuk tempat penitipan... hadeeehh.. waktu berjalan sangat lambat.

Karena kasihan, akhirnya kakak-kakak konsulatku mengajak tidur di kamar pengurus OP (lengkapnya OP3MIA, semacam OSIS kalau di sekolah biasa), dalam hatiku “kenapa gak dari awal aja kami diajak tidur di sana??!! Tega banget!!!”

Yang lebih ngenes lagi, dapur Cuma buka H+2 setelah santri mulai libur, selanjutnya kami membeli makanan sendiri di luar pondok. Saat itu, yang jualan di dekat pondok sedikit, kami bahkan makan nasi satu kali saja, selainnya makan mie dan mie lagi.

Bayangkan ajalah teman-teman, bagaimana rasanya tinggal di pondok yang nyaris tak berpenghuni, gak ada yang ngurus, masih kelas satu tsanawiyah (mungkin kalau kejadiannya pas kelas tiga SMA, malah senang, bebas jalan-jalan... hehehe....). apalagi aku dan Mulki gak punya keluarga di Pulau Jawa dan baru kelas satu jadi gak kepikiran nginap di rumah teman (di rumah Sari yang tepat di depan Pondok, misalnya... hehehe...).

Akhirnya, Hari Selasa atau H+4 setelah santri mulai libur, mulai pulang, kami berangkat ke Semarang, itupun menginap dulu satu malam karena kapalnya baru berlabuh Hari Rabu Pagi. Setelah satu hari satu malam, Hari Kamis Malam kami baru sampai rumah, bertemu orang tua dan saudara. Dibandingkan teman-teman yang lain, kami hampir satu minggu baru sampai rumah dan sebelumnya harus hidup terlantar di pondok tercinta, Assalaam.

Sejak kejadian itu, anak konsulatku tidak mau lagi pulang setelah santri lain sudah pulang, khawatir jadwal kapalnya diundur lagi, malahan kami pakai alasan jadwal kapal lebih duluan dari jadwal kepulangan santri yang lain (terutama sewaktu aku jadi pengurus konsulat, hehehe....), jadi kami pulang duluan dibanding santri yang lain.


Yaah... itulah sebagian pengalaman jadi santri perantauan.


Ditulis oleh: Hernita Indriani

Hantu Reservoir

18.59 Posted by Pernah Sekolah No comments
Suatu ketika, di tahun pertama di Penjara Suci Assalaam, saya terbangun tengah malam. Jam menunjukkan pukul entahlah, maklum anak kelas 1 masih belum punya jam. Hehehe…

Saat itu suasana sunyi senyap. Cuma terdengar suara gesekan daun di pohon-pohon besar kopel Assalam. Sesekali terdengar suara tetesan keran yang ditutup kurang kencang.

Tiba-tiba… “Srek…srek…” Hening. Lalu “Srek…srek…” Terdengar suara gesekan sikat baju dari arah reservoir. Saat itu juga jantung saya berhenti. Napas tercekat. Mata yang tadinya merem melek jadi melotot. Dalam hati berkata, “Tidak!!! Suara apaan tuh? Suara orang nyuci kayaknya sih… tapi… siapa yang jam begini nyuciii?!” Di tengah kesunyian suasana malam, suara ini dominan.

Reservoir

Saya mencoba membangunkan teman yang tidur di sebelah kanan saya, gagal. Sebelah kiri, cuma membuka mata sedikit kemudian tidur lagi. “Byurrr….” Suara nyuci tersebut berganti menjadi suara mandi. “Gileeee……siapa yang mandi jam segini!!!” Saya semakin merapatkan guling dan bantal, sebisanya menutup seluruh muka persis adegan nonton film horor.  Alhamdulillah… akhirnya dalam posisi muka tertutup rapat bantal dan guling saya tertidur lagi dan bangun ketika alarm subuh berbunyi.

Hal ini saya alami beberapa malam berikutnya… Benar-benar spooky.  Akhirnya, saya menanyakan apakah ada yang mendengar suara orang mencuci dan mandi di reservoir tengah malam. Dan ternyata bukan saya saja yang mengalaminya. Kemudian beredarlah kisah hantu reservoir di seantero Assalaam. 

Sampai akhirnya terungkaplah misteri suara apa itu. Ternyata itu suara salah satu santri terajin di Assalam yang biasa mencuci dan mandi jam 3 pagi. Jam 3 saudara-saudara??!! Bukan tengah malam seperti dugaan saya. Dan dia melakukannya sendiri. Weeew… berani bener yak?! Entah kecewa atau senang. Kecewa karena ketakutan saya sia-sia selama ini. Maklum imajinasi tinggi karena kebanyakan nonton film horror. Senang karena ternyata bukan hantu beneran. Hahaha

Ada yang tau siapa si “hantu reservoir”? ^^


Ditulis oleh: Innes Ericca