Aku
termasuk santri yang setia pulang ke rumah bersama konsulat (konsulat merupakan
kumpulan santri yang berasal dari satu daerah), pulang rame-rame dan tidak ngerepotin
orang tua untuk menjemput. Aku sendiri termasuk di konsulat Kumparan Persada sub
Antasari. Kumparan Persada sendiri adalah kumpulan santri dari daerah di luar
Pulau Jawa, sedangkan Antasari adalah kumpulan santri dari daerah Kalimantan
Selatan.
Nah,
kebetulan, konsulatku selalu menggunakan angkutan laut alias kapal (moda yang
paling terjangkau pada zaman itu) untuk pulang ke rumah. Waktu itu, kami baru
bisa pulang lebih lama satu hari dibanding santi yang lain. Ketika santri lain
sudah pulang pulang hari Jumat, kami baru bisa pada hari Sabtu karena kapal
laut yang membawa kami ke Banjarmasin baru ada di hari Minggu pagi. Kami naik
kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Di Tanjung Emas, kapal tujuan
Banjarmasin hanya tersedia dua kali dalam seminggu, berbeda dengan Pelabuhan
Tanjung Perak di Surabaya yang menyediakan kapal tujuan Banjarmasin dua hari
sekali. Kami memilih naik kapal dari Semarang karena waktu tempuh dari pondok
kami ke Semarang lebih dekat daripada ke Surabaya.
Sedih
melihat teman-teman lain sudah pulang, pondok sudah mulai sepi, tertinggal
sebagian anak-anak Kumparan Persada dari Sumatera, Kalimantan dan Papua. Malam
pertama masih ramai dan masih di kamar masing-masing menggunakan kasur, pagi
harinya kami beres-beres, semua barang termasuk bantal dan kasur dititipkan. Rencananya
sore itu kami berangkat, pondok sudah sepo, ternyata kami mendapat kabar kalau
kapal kami tidak bisa bersandar sehingga kapal dibatalkan berangkat pada Hari
Minggu dan kami baru bisa berangkat menggunakan kapal Hari rabu. Mendengar
kabar itu, aku langsung menangis sejadi-jadinya, sudah kangen banget sama
rumah, kebetulan yang kelas satu hanya aku dan Mulki yang ikut pulang bersama
konsulat.
Akhirnya
kakak-kakak pengurus konsulat memutuskan tidak jadi berangkat ke Semarang hari
itu karena tidak ada biaya untuk menginap di Semarang selama tiga malam. Malam
itu, kami tidur beralaskan tikar seadanya dan berbantalkan tas, bisa
teman-teman bayangkan sedihnya. Waktu itu selain aku dan Mulki, juga ada Aqidah
dari Papua yang belum pulang, walhasil kami Cuma bertiga di Rayon 1, dingin dan
nyamuk yang bikin mental down, sedih, Cuma bisa nangis. Masih kelas
satu, masih polos, tidak kepikiran untuk jalan-jalan keluar komplek pondok
apalagi kepikiran untuk nomat... hehehe...
Selama
dua malam kami tidur di tikar, bahkan malam ketiga hanya aku dan Mulki yang
tersisa, Aqidah sudah berangkat dengan rombongan konsulatnya. Bisa kalian
bayangkan tidur di rayon yang kosong, takut sih sudah kebal, tapi rasa kesepian
dan sedihnya itu luar biasa. Tidak ada kerjaan, nyuci baju saja tidak bisa
karena embernya juga sudah masuk tempat penitipan... hadeeehh.. waktu berjalan
sangat lambat.
Karena
kasihan, akhirnya kakak-kakak konsulatku mengajak tidur di kamar pengurus OP
(lengkapnya OP3MIA, semacam OSIS kalau di sekolah biasa), dalam hatiku “kenapa
gak dari awal aja kami diajak tidur di sana??!! Tega banget!!!”
Yang
lebih ngenes lagi, dapur Cuma buka H+2 setelah santri mulai libur,
selanjutnya kami membeli makanan sendiri di luar pondok. Saat itu, yang jualan
di dekat pondok sedikit, kami bahkan makan nasi satu kali saja, selainnya makan
mie dan mie lagi.
Bayangkan
ajalah teman-teman, bagaimana rasanya tinggal di pondok yang nyaris tak
berpenghuni, gak ada yang ngurus, masih kelas satu tsanawiyah (mungkin kalau
kejadiannya pas kelas tiga SMA, malah senang, bebas jalan-jalan... hehehe....).
apalagi aku dan Mulki gak punya keluarga di Pulau Jawa dan baru kelas satu jadi
gak kepikiran nginap di rumah teman (di rumah Sari yang tepat di depan Pondok,
misalnya... hehehe...).
Akhirnya,
Hari Selasa atau H+4 setelah santri mulai libur, mulai pulang, kami berangkat ke
Semarang, itupun menginap dulu satu malam karena kapalnya baru berlabuh Hari
Rabu Pagi. Setelah satu hari satu malam, Hari Kamis Malam kami baru sampai
rumah, bertemu orang tua dan saudara. Dibandingkan teman-teman yang lain, kami
hampir satu minggu baru sampai rumah dan sebelumnya harus hidup terlantar di pondok
tercinta, Assalaam.
Sejak
kejadian itu, anak konsulatku tidak mau lagi pulang setelah santri lain sudah
pulang, khawatir jadwal kapalnya diundur lagi, malahan kami pakai alasan jadwal
kapal lebih duluan dari jadwal kepulangan santri yang lain (terutama sewaktu
aku jadi pengurus konsulat, hehehe....), jadi kami pulang duluan dibanding
santri yang lain.
Yaah...
itulah sebagian pengalaman jadi santri perantauan.
Ditulis oleh: Hernita Indriani
0 komentar:
Posting Komentar