Kumpulan Cerita Waktu Masih Sekolah

Minggu, 30 Agustus 2015

Nasib Santri Perantauan

23.20 Posted by Pernah Sekolah No comments


Kejadian ini sekitar tahun 1999. Waktu itu, aku masih kelas satu Madrasah Tsanawiyah di Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam, Solo, Jawa Tengah. Tanggal persisnya aku lupa, yang jelas itu liburan caturwulan tiga kenaikan kelas. Ketika libur kenaikan kelas, kasur dan barang-barang santri harus dititipkan di satu tempat (biasanya menggunakan ruang kelas sebagai tempat penitipan) karena pada tahun ajaran berikutnya para santri akan menempati kamar yang berbeda dan rayon-rayon (semacam barak, terdiri dari banyak kamar yang satu kamar ditempati puluhan santri untuk tidur) akan dibersihkan selama liburan.

Aku termasuk santri yang setia pulang ke rumah bersama konsulat (konsulat merupakan kumpulan santri yang berasal dari satu daerah), pulang rame-rame dan tidak ngerepotin orang tua untuk menjemput. Aku sendiri termasuk di konsulat Kumparan Persada sub Antasari. Kumparan Persada sendiri adalah kumpulan santri dari daerah di luar Pulau Jawa, sedangkan Antasari adalah kumpulan santri dari daerah Kalimantan Selatan.

Nah, kebetulan, konsulatku selalu menggunakan angkutan laut alias kapal (moda yang paling terjangkau pada zaman itu) untuk pulang ke rumah. Waktu itu, kami baru bisa pulang lebih lama satu hari dibanding santi yang lain. Ketika santri lain sudah pulang pulang hari Jumat, kami baru bisa pada hari Sabtu karena kapal laut yang membawa kami ke Banjarmasin baru ada di hari Minggu pagi. Kami naik kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Di Tanjung Emas, kapal tujuan Banjarmasin hanya tersedia dua kali dalam seminggu, berbeda dengan Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya yang menyediakan kapal tujuan Banjarmasin dua hari sekali. Kami memilih naik kapal dari Semarang karena waktu tempuh dari pondok kami ke Semarang lebih dekat daripada ke Surabaya.




Sedih melihat teman-teman lain sudah pulang, pondok sudah mulai sepi, tertinggal sebagian anak-anak Kumparan Persada dari Sumatera, Kalimantan dan Papua. Malam pertama masih ramai dan masih di kamar masing-masing menggunakan kasur, pagi harinya kami beres-beres, semua barang termasuk bantal dan kasur dititipkan. Rencananya sore itu kami berangkat, pondok sudah sepo, ternyata kami mendapat kabar kalau kapal kami tidak bisa bersandar sehingga kapal dibatalkan berangkat pada Hari Minggu dan kami baru bisa berangkat menggunakan kapal Hari rabu. Mendengar kabar itu, aku langsung menangis sejadi-jadinya, sudah kangen banget sama rumah, kebetulan yang kelas satu hanya aku dan Mulki yang ikut pulang bersama konsulat.

Akhirnya kakak-kakak pengurus konsulat memutuskan tidak jadi berangkat ke Semarang hari itu karena tidak ada biaya untuk menginap di Semarang selama tiga malam. Malam itu, kami tidur beralaskan tikar seadanya dan berbantalkan tas, bisa teman-teman bayangkan sedihnya. Waktu itu selain aku dan Mulki, juga ada Aqidah dari Papua yang belum pulang, walhasil kami Cuma bertiga di Rayon 1, dingin dan nyamuk yang bikin mental down, sedih, Cuma bisa nangis. Masih kelas satu, masih polos, tidak kepikiran untuk jalan-jalan keluar komplek pondok apalagi kepikiran untuk nomat... hehehe...

Selama dua malam kami tidur di tikar, bahkan malam ketiga hanya aku dan Mulki yang tersisa, Aqidah sudah berangkat dengan rombongan konsulatnya. Bisa kalian bayangkan tidur di rayon yang kosong, takut sih sudah kebal, tapi rasa kesepian dan sedihnya itu luar biasa. Tidak ada kerjaan, nyuci baju saja tidak bisa karena embernya juga sudah masuk tempat penitipan... hadeeehh.. waktu berjalan sangat lambat.

Karena kasihan, akhirnya kakak-kakak konsulatku mengajak tidur di kamar pengurus OP (lengkapnya OP3MIA, semacam OSIS kalau di sekolah biasa), dalam hatiku “kenapa gak dari awal aja kami diajak tidur di sana??!! Tega banget!!!”

Yang lebih ngenes lagi, dapur Cuma buka H+2 setelah santri mulai libur, selanjutnya kami membeli makanan sendiri di luar pondok. Saat itu, yang jualan di dekat pondok sedikit, kami bahkan makan nasi satu kali saja, selainnya makan mie dan mie lagi.

Bayangkan ajalah teman-teman, bagaimana rasanya tinggal di pondok yang nyaris tak berpenghuni, gak ada yang ngurus, masih kelas satu tsanawiyah (mungkin kalau kejadiannya pas kelas tiga SMA, malah senang, bebas jalan-jalan... hehehe....). apalagi aku dan Mulki gak punya keluarga di Pulau Jawa dan baru kelas satu jadi gak kepikiran nginap di rumah teman (di rumah Sari yang tepat di depan Pondok, misalnya... hehehe...).

Akhirnya, Hari Selasa atau H+4 setelah santri mulai libur, mulai pulang, kami berangkat ke Semarang, itupun menginap dulu satu malam karena kapalnya baru berlabuh Hari Rabu Pagi. Setelah satu hari satu malam, Hari Kamis Malam kami baru sampai rumah, bertemu orang tua dan saudara. Dibandingkan teman-teman yang lain, kami hampir satu minggu baru sampai rumah dan sebelumnya harus hidup terlantar di pondok tercinta, Assalaam.

Sejak kejadian itu, anak konsulatku tidak mau lagi pulang setelah santri lain sudah pulang, khawatir jadwal kapalnya diundur lagi, malahan kami pakai alasan jadwal kapal lebih duluan dari jadwal kepulangan santri yang lain (terutama sewaktu aku jadi pengurus konsulat, hehehe....), jadi kami pulang duluan dibanding santri yang lain.


Yaah... itulah sebagian pengalaman jadi santri perantauan.


Ditulis oleh: Hernita Indriani

0 komentar:

Posting Komentar